PERISTIWA-PERISTIWA POLITIK PADA MASA ORDE LAMA

MAKALAH INI DISUSUN OLEH OKTA PRASETYA MAHASISWA PENDIDIKAN SEJARAH ANGKATAN 2009 OFF:C UNIVERSITAS NEGERI MALANG DALAM MATA KULIAH SEJARAH POLITIK


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
            Politik di Indonesia sangat berperan dalam penulisan sejarah Indonesia, terutama Sejarah Politik Militer Indonesia sejak masa pemerintahan Soekarno (1945-1965) dan Soeharto (1966-1998) yang kemudian beritanya menjadi sedikit berkurang sejak pertengahan 1998. Pengaruh Militer dalam system Politik Indonesia tidak serta merta hilang saat itu juga, Militer masih berpengaruh terhadap system perpolitikan Indonesia.
            Sangat menarik apabila kita menalaah bagaimana kancah dunia Militer di dalam perpolitikan Indonesia. Militer Indonesia memiliki keunikan dibandingkan dengan militer di negara lain, militer Indonesia membentuk dirinya sendiri melalui perjuangan kemerdekaan melawan penjajahan Belanda ataupun Jepang. Perjuangan mendapatkan kemerdekaan membuatnya melakukan kegiatan kesemestaan, tidak hanya bertempur secara fisik akan tetapi terlibat dalam penyusunan strategi pendirian bangsa Indonesia. Keunikan inilah menjadikan peranan militer Indonesia menjadi tidak biasa. Penggalan sejarah kemerdekaan menjadi legitimasi yang menyebabkan militer tidak hanya menjadi instrumen pertahanan bangsa dari gangguan kekuatan luar, akan tetapi menjadi bagian penting dalam pengambilan keputusn politik Indonesia.

1.2 Rumusan Masalah 
            Setelah membaca makalah ini maka akan terjawab beberapa pertanyaan mengenai Politik Militer Indonesia, yaitu :
  1. Bagaimanakah awalmula terbentuknya TNI?
  2. Bagaimanakah perkembangan Militer Indonesia sampai ke kancah perpolitikan Indonesia?
  3. Bagaimanakah peristiwa 17 Oktober 1952 terjadi?
  4. Apakah Dwifungsi Abri?



BAB II
ISI

2.1 PEMBENTUKAN TENTARA NASIONAL INDONESIA

Sebelumnya mari kita simak dulu bagaimanakah sejarah dari perkembangan Militer Indonesia itu sendiri. Militer di Indonesia dibentuk dari embrio yang telah ada, antara lain Tentara Sukarela Pembela Tanah Air (PETA), dan tentara Hindia Belanda (KNIL).
Setelah Tentara Sukarela Pembela Tanah Air (PETA) dilucuti dan dibubarkan, maka Negara Republik Indonesia yang bisa disebut sebagai Negara yang masih muda ini tidak mempunyai pasukan bersenjata untuk mempertahankan diri dari serangan yang masih mungkin terjadi baik dari luar maupun dari dalam.
Oleh sebab itu, para pemuda memutuskan untuk turun tangan mengatasi permasalah ini dengan jalan membentuk organisasi-organisasi yang pada saat itu lebih dikenal dengan sebutan Laskar. Namun sayangnya mereka tidak mempunyai senjata, tidak terlatih, tidak disiplin dan yang paling parah mereka tidak memiliki pemimpin yang berpengalaman dalam bidang ke Militeran. (Sundhaussen, 1988;16).
Pasukan-pasukan Laskar tadi bisa dibilang hanya mengandalkan dukungan masyarakat yang sedang mabuk dalam suasana revolusi. Sikap para Pemuda ini sangat bersebrangan dengan pandangan para politisi yang memiliki sikap begitu lunak dan kompromistik terhadap musuh yang tidak dapat diterima oleh golongan Pemuda.
Situasi Revolusioner serta perbedaan sikap antara komponen pendukung kemerdekaan (Politisi dan Pemuda) diatas, telah melahirkan hal yang sangat berpengaruh dalam kehidupan tentara dan politik di Indonesia untuk masa-masa berikutnya. Hal tersebut yaitu bahwa perbedaan sikap yang terjadi diantara dua kubu tersebut menyebabkan lahirnya sosok tentara yang memiliki otonom relative terhadap para politisi yang duduk di pemerintahan, serta merupakan awal dari ketidakharmonisan hubungan antara keduanya yang diwarnai dengan nafsu untuk ingin saling menintervensi dan menguasai. (Yulianto.P 2005;10).
Hal diatas inilah yang menyebabkan perlawanan politik tentara, seperti yang terjadi dalam peristiwa-peristiwa seperti peristiwa 17 Oktober yang akan dibahas dalam makalah ini berikutnya terjadi.
Berikutnya PPKI pada 22 Agustus mengumumkan terbentuknya Badan keamanan Rakyat (BKR). Di dalam undang-undang pembentukannya, fungsi BKR secara samar-samar disebutkan sebagai "memelihara keamanan bersama-sama dengan rakyat dan badan-badan Negara yang bersangkutan" (Simatupang. T.B. 1954;55).
BKR ini nantinya akan bermetamorfosis menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR), Tentara Keselamatan Rakyat (TKR), Tentara Republik Indonesia (TRI), dan akhirnya Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang terus bertahan hingga saat ini.
Pembentukan Militer di Indonesia tertuang dalam maklumat Pemerintah yang ditandantangani oleh Presiden Soekarno, Maklumat tersebut berbunyi :

MAKLUMAT PEMERINTAH
Untuk memperkuat perasaan keamanan umum, maka diadakan satu Tentara Keamanan Rakyat.

Jakarta 5 Oktober 1945
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
SOEKARNO

Juga tertuang dalam Pengumuman Pemerintah :

PENGUMUMAN PEMERINTAH
Ini hari telah dilakukan Pembentukan Tentara Kebangsaan di salah satu daerah dekat Jakarta dengan maksud untuk menyempurnakan kekuatan Republik Indonesia.
Pemuda-pemuda bekas PETA, Heiho, Keigun Heiho dan pemuda-pemuda dari Barisan Pelopor telah menyiapkan tenaganya agar setiap waktu dapat membaktikan tenaganya untuk menentang kembalinya penjajahan Belanda.
Pemuda-pemuda yang masuk Tentara Kebangsaan itu dengan segera diperlengkapi dengan persenjataan, agar dengan jalan demikian dapat mempertahankan keamanan umum.
Jakarta, 7 Oktober 1945
(Tim Imparsial Jakarta, 2006;27)


2.2 PERKEMBANGAN POLITIK MILITER INDONESIA PADA 1945-1959
Seperti yang kita ketahui, bahwa Politik sangat berperan dalam penulisan sejarah Indonesia, Politik di Indonesia sudah dimulai sejak era pra-kemerdekaan sampai saat ini. Salah satu yang bisa kita lihat dari Sejarah Politik Indonesia adalah Sejarah Politik Militer Indonesia yang turut memberikan warna dalam sejarah Indonesia, khususnya pada era tahun 1945-1959.
Sangat menarik apabila kita menelaah bagaimana kancah dunia Militer di dalam perpolitikan Indonesia. Seperti yang kita ketahui juga bahwa terbentuknya Militer Indonesia tidak serta merta didapatkan secara instan, melainkan melalui beberapa proses. Seperti yang terjadi pada era 1945-1959 dimana kita ketahui bahwa keadaan militer Indonesia saat itu sedang mengalami tahap mempertahankan kemerdekaan.
2.2.1        Politik Militer Indonesia Era 1945-1949
Seperti yang telah dijelaskan di atas, militer Indonesia tidak dibentuk dengan instan. Militer di Indonesia dibentuk dari embrio yang telah ada, antara lain Tentara Sukarela Pembela Tanah Air (PETA), tentara Hindia Belanda (KNIL) serta badan-badan perjuangan (laskar).
Pada masa ini terjadi kekacauan dimana-mana. Belanda datang untuk mengambil kemerdekaan Indonesia yang baru saja diproklamasikan. Kedatangan belanda ditandai dengan  mendaratnya Inggris bersama tentara Belanda di Sabang, Aceh pada tanggal 23 agustus 1945. Lalu, Tentara Inggris selaku wakil Sekutu tiba di Jakarta, dengan didampingi Dr. Charles van der Plas, wakil Belanda pada Sekutu. Kehadiran tentara Sekutu ini, diboncengi NICA (Netherland Indies Civil Administration – pemerintahan sipil Hindia Belanda) yang dipimpin oleh Dr. Hubertus J van Mook.
Kedatangan NICA tersebut mengawali perjuangan Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaannya. Selanjutnya, yang paling dekat dengan pembahasan ini adalah keterlibatan Militer dalam mempertahankan kemerdekaan. Sebuah periode yang sangat menonjolkan peran militer sebagai pihak yang berjasa dalam mempertahankan kemerdekaan.
Salah satu dari peran militer ini adalah ketika belanda melancarkan agresi, baik agresi yang pertama maupun yang kedua. Menghadapi agresi ini, militer Indonesia mengembangkan “Sistem Wehrkreise” yang pada intinya membagi daerah pertempuran dalam lingkaran-lingkaran (kreise) yang memungkinkan satuan-satuan militer secara mandiri mempertahankan (wehr) lingkaran pertahanannya.
Kemandirian pertahanan melingkar ini dilakukan dengan melakukan mobilisasi kekuatan rakyat dan sumber daya yang berada di lingkaran pertahanan tertentu. Sistem Wehrkreise ini kemudian dilengkapi dengan dalil-dalil perang gerilya sebagai bentuk operasional taktik militer di medan pertempuran. Sistem ini pertama kali digunakan oleh Divisi I/Siliwangi di Jawa Barat yang dipimpin oleh Kolonel A.H. Nasution dan Divisi II/Sunan Gunung Jati di Jawa Tengah yang dipimpin Kolonel Gatot Subroto. (Tim Narasasi 2005 :1-5).
Dengan sistem ini, membuat sipil dan militer cukup dekat waktu itu. Dan selanjutnya, hubungan mesra itu berlanjut. Sampai pada ketika terjadi serangan agresi belanda II ke yogyakarta. Sebelum serangan militer belanda, Soekarno pernah berpidato bahwa jika Belanda ngotot menggunakan kekuatan militernya, dia sendiri yang akan memimpin perang grilya.
Kejadian-kejadian di atas lah yang memperkuat legitimasi atas keterlibatan militer dalam perpolitikan di Indonesia.

2.2.2        Politik Militer Indonesia Era 1950-1959
Periode ini adalah Periode dimana Indonesia diguncang oleh gangguan gerakan separatisme dan di sana-sini timbul gerakan lokal. Lewat TNI gerakan-gerakan itu dipadamkan, bahkan reputasinya dapat dibanggakan dalam menumpas PRRI/PERMESTA (1957/1958). Karya Nasution di atas masih relevan untuk memperkuat posisi TNI sebagai pengawal keamanan.  Setelah penyerahan kedaulatan dari RIS ke Negara Kesatuan RI peran politik militer dibatasi. Kedudukan militer dikembalikan ke masa awal proklamasi dalam hubungan seimbang karena diberlakukannya UUDS 1950 yang menempatkan sipil di atas militer sebagai manifestasi demokrasi liberal Barat.
Hubungan sipil-militer makin renggang dan tidak stabil. Di satu pihak sipil membuat divisi-divisi dalam militer dan menentangusaha-usaha militer membentuk standar profesional, sedang militer sebenarnya mendukung upaya pembangunan demokrasi parlementer yang pada waktu yang bersamaan akan terbentuk profesionalisme militer yang otomatis terpisah dari aktifitas politik kepartaian. Rupanya pemerintah tidak tanggap terhadap keinginan militer yang ditandai eengganan parlemen untuk tidak dapat menerima standar profesional militer maka muncullah Peristiwa 17 Oktober 1952 sebagai tanda  kekesalan militer. Selain itu, militer juga kesal terhadap para politisi partai di parlemen. Mereka bukannya meluluskan perundang-undangan yang mendesak siperlukan, melainkan menyibukkan diri untuk menjatuhkan kabinet. (Sendhaussen, Ulf. 2001;26)
Belum juga beres tentang parlemen dan kabinet,negara yang baru di akui ini juga menghadapi berbagai pemberontakan daerah/lokal. Kondisi seperti inilah yang mendorong militer sebagai alat pertahanan dan keamanan negara merasa mempunyai tanggung jawab yang penuh untuk segera mengambil tindakan cepat guna mengatasi kekacauan dalam negeri tersebut. Ketidakstabilan kondisi negara pada masa Demokrasi Liberal dianggap sebagai akibat gagalnya pemerintah sipil dalam mengendalikan pemerintahan. Dari sinilah militer terdorong untuk mengambil peranan dalam bidang politik mengingat peranan militer sangat besar dalam mencapai kemerdekaan Indonesia.
2.3 Peristiwa 17 Oktober 1952 Sebuah Kegagalan Politik Militer
Apa yang melatar belakangi timbulnya peristiwa 17 Oktober 1952 ini adalah situasi serta kondisi politik dan militer Indonesia pasca perang kemerdekaan. Pasca pengakuan kedaulatan RI oleh pemerintah kerajaan Belanda, posisi militer Indonesia, khususnya AD mengalami perubahan yang signifikan. Mereka tidak hanya menampung sebagian laskar yang selama masa revolusi menjadi pasukan yang relatif otonom melainkan juga harus menerima pasukan KNIL yang dulu menjadi musuhnya. Maka sejak tahun 1950-an militer Indonesia menghadapi masalah internal yang cukup kompleks, termasuk pilihan orientasi untuk menciptakan militer yang profesional dengan kualifikasi prajurit yang kompeten di bidangnya atau tetap menekankan militer yang mendasar-kan pada suatu ideologi dan semangat juang.
Konsekuensi dari dua kencederungan tersebut menyebabkan soliditas dalam Angkatan Darat menjadi rapuh. Apalagi pada saat itu situasi keamanan dan politik di berbagai daerah masih labil sehingga memerlukan penanganan yang melibatkan militer dan di beberapa daerah diberlakukan keadaan darurat. Rivalitas antar faksi di kalangan militer serta interaksinya dengan berbagai kekuatan politik, terutama yang duduk di parlemen semakin memperumit masalah yang ada. Jalinan kerapuhan dalam AD dengan kekuatan politik di luarnya salah satunya menyebabkan masalah yang cukup rentan dalam menentukan batas wewenang pimpinan AD dan wewenang politik kaum politisi dalam kebijakan militer. Salah satu masalah yang menonjol adalah peristiwa 27 Oktober 1952. Sebuah konflik terbuka antara pimpinan militer dan kalangan politisi sipil (Said, 2001;10).


2.3.1 Situasi Politik Militer Pasca KMB
Kondisi tersebut diatas menyebabkan situasi politik dan keamanan pasca KMB tidak dapat berjalan normal, terutama di daerah Jawa Barat yang masih dikuasai oleh DI/TII. Di beberapa daerah masih harus diberlakukan keadaan darurat sehingga kekuasaan secara de facto ada di tangan penguasa militer setempat. Kemudian menyusul pergolakan di Maluku dan Sulawesi yang mendorong diberlakukannya keadaan darurat dan memberi peluang keterlibatan militer di bidang politik. Suatu tindakan yang sebenarnya sudah dilakukan oleh kalang-an militer dalam proses pembubaran negara-negara federal menuju negara kesatuan di tahun 1950.
Dalam situasi yang sulit tersebut parlemen menjadi sangat kritis terhadap kabinet, termasuk kementerian pertahanan dan militer sehingga Nasution secara terang-terangan menganggap situasi pada saat itu disebabkan oleh peran DPR yang terlalu besar, padahal anggotanya berasal dari negara-negara federal bentukan Belanda.
“Demikianlah kekuasaan politik secara kosntitusional adalah di DPRS, yang 2/3 dari anggotanya terdiri dari bekas “negara-negara Van Mook”. Maka itu secara nyata partai-partai yang bergiliran menguasai pemerintah, karena terbentuk dan dapat bekerjanya suatu Kabinet tergantung dari dukungan di DPR (Parlemen)” (Nasution,A.H 1983, 150).
            2.3.2 Eksistensi militer
            Posisi militer di Indonesia waktu itu masih didominasi oleh AD, karena AL dan AU sejak masa revolusi kekuatannya tidak begitu menonjol bahkan ada yang menyebutkan kedua angkatan tersebut hanya di atas kertas saja. Kondisi tersebut menyebabkan dinamika militer di Indonesia sangat ditentukan oleh dinamika AD. Pergolakan internal AD sering membawa pengaruh dan atau pergolakan politik yang cukup besar.
Sebagaimana yang telah diketahui, bahwa sejak meninggalnya Sudirman sebagai pemimpin tentara, posisi penting dan strategis AD didominasi oleh kalangan perwira yang berlatar belakang pendidikan KNIL, yaitu Kolonel Nasution sebagai KSAD dan Jenderal Mayor T.B. Simatupang sebagai KSAP. Kebijakan pimpinan AD yang berusaha membentuk tentara profesional tidak dapat berjalan lancar karena sebagian besar anggota militer yang berasal dari kalangan Peta dan berlatar belakang pendidikan formal rendah merasa terancam posisinya. Mereka merasa tidak mampu memenuhi tuntutan baru di bidang pendidikan dan latihan militer modern yang dipersyaratkan dan secara psikologis masih sulit menerima kehadiran opsir-opsir Belanda dalam program MMB.
Akhirnya pada tanggal 12 Juli 1952 diadakan rapat yang dihadiri oleh General Major T.B. Simatupang, Kolonel Nasution, Kolonel Gatot Subroto, Kolonel Kawilarang. Kolonel Bambang Sugeng, Kolonel Bambang Supeno, Kolonel Jatikusumo, Ov. Kosasih, Ov. Parman, Ov. Bustomi. Ov. Suprajogi. Ov. Suprapto, Ov. Sutoko, Ov. Bachrun, Maj. Adji, Maj. Rukmito, Maj. Soebeno dan Maj. Moertomo. Pimpinan sidang KSAP Simatupang pada awalnya meminta penjelasan Kolonel Bambang Supeno yang pergi ke Presiden tanpa ijin dari atasannya. Menurut Bambang Supeno tindakan tersebut dilakukan sebagai anggota korps perwira pada atasannya dan sebagai anggota tentara pada panglima tertingginya untuk membicarakan masalah penggunaan NMM (Nederlansche Militaire Missie-Misi Militer Belanda) guna mencari pemecahan masalah yang dihadapi. Di samping itu dia juga menyatakan keluhannya pada parlemen. (Nasution,A.H 1983, 13).

2.3.3 Kesimpulan peristiwa 17 oktober 1952
Menurut Jendral A.H. Natution, proses yang mengantarkan terjadinya peritiwa 17 Oktober 192 ini adalah ketika pada bulan Juli pihak Kementrian Pertahanan mengumumkan perihal perencanaan kepergian KSAD Kol. Natution pergi keluar Negeri untuk melakukan Studireis. Pembicaraan mulai menghangat ketika memasuki persoalan pergantian KSAD. Pada waktu sebelumnya memang tersiar berita akan diangkatnya Kol.Hidayat, namun yang bersangkutan malah menjadi bulan-bulanan public. Mungkin karena tidak tahan diperlakukan seperti itu, ia pun mengundurkan diri dari ketentaraan.
Kemudian tersiar kabar bahwa Kabinet telah memutuskan bahwa jabatan KSAD akan dijabat oleh Kepala Staf Angkatan Perang (KSAP) Mayjen. T.B. Simatupang yang sama-sama seperti Nasution yaitu berasal dari Defisi Siliwangi.
Jadi yang sebenarnya menjadi pangkal permasalahan timbulnya peristiwa 17 Oktober 1952 adalah hanya soal siapa yang akan menggantikan Kolonel Nasution sebagai KSAD saat ia dikirim keluar negeri untuk tugas belajar. (Yulianto.P 2005;186).

2.4 Dwifungsi ABRI sebagai Praktik Politik Militer
Di   Indonesia,  militer  awalnya dibentuk untuk mendukung kemerdekaan Republik dari cengkeraman   penjajah.   Para   pendiri   bangsa   kita  menyadari   betul   bahwa   perjuangan   untuk mencapai   kemerdekaan   tidak   cukup   jika   hanya  melakukan   jalan   diplomasi   di   atas  meja perundingan. Sering kali diperlukan intervensi militer yang melibatkan kontak senjata di medan peperangan.  Karena  itu,  dibentuknya   tenaga  militer  yang kini  dikenal  dengan nama  Tentara Nasional  Indonesia (TNI) pada masa itu memang sangat  mendesak.  Kaum  tentara dibutuhkan bukan   hanya   untuk   meraih   kemerdekaan   dari   pendudukan   kolonial,   tetapi   juga   untuk mempertahankan kemerdekaan tersebut jika sewaktu-waktu ancaman muncul.
TNI   sendiri   telah   terlibat   dalam  politik   domestik   sejak   adanya   revolusi.   Semenjak demokrasi  terpimpin golongan militer telah masuk ke dalam system politik Indonesia.  Hal ini diindikasikan oleh adanya keberhasilan TNI memberantas PRRI yang membuat  kekuatan dan wibawa TNI khususnya Angkatan Darat  secara politis meningkat.  kemudian hal   itu diperkuat dengan adanya keadaan darurat  perang, dan konsepsi  dwifungsi  ABRI  yang dicanangkan oleh Jenderal  Nasution di   tahun 1958 yang menyatakan bahwa golongan militer tidak hanya berfungsi sebagai alat pertahanan negara tetapi juga berfungsi dalam kehidupan sipil.
Lalu apakah sebenarnya yang dimaksud dengan Dwifungsi ABRI itu sendiri? Soebijono dan kawan-kawan telah merumuskan pengertian dari Dwifungsi ABRI itu dalam bukunya yang berjudul DWIFUNGSI ABRI, Perkembangan dan Peranannya dalam Kehidupan Politik di Indonesia pada halaman pertama, mereka mendeskripsikan pengertian Dwifungsi ABRI sebagai berikut "Dwifungsi Abri adalah suatu konsep politik yang menempatkan Abri baik sebagai kekuatan Hankam maupun sebagai kekuatan sosial politik dalam supra maupun infrastruktur politik sekaligus. Struktur politik yang demikian itu telah diatur melalui peraturan perundang-undangan yang ada" (Soebijono. 1992;1)
Dari pengertian diatas maka kita dapat menyimpulkan bahwa Dwifungsi Abri itu sendiri tidak dapat dipisahkan dari perkembangan system ketatanegaraan dan tentunya dari system politik di Indonesia. Keberadaannya sebagai kekuatan sosial politik yang sudah ada sejak terbentuknya Abri secara nyata bisa dikatakan sudah bisa diterima oleh rakyat, karena peranannya yang secara nyata diperlukan bagi kelangsungan system ketatanegaraan dan system politik yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Hal diatas dapat dijelaskan dengan bukti sebagai berikut (Kebetulan Ayah Penulis adalah anggota Polisi Republik Indonesia (POLRI)) beliau berkata bahwa dahulu POLRI masih menjadi satu dengan ABRI, yang kemudian ABRI dipecah menjadi dua yaitu TNI dan POLRI di era lengsernya Soeharto (sekitar tahun 1998), beliau berkata bahwa di dalam ABRI mereka mengenal suatu Janji yang terangkum dalam Sapta Marga, Sapta Marga tersebut berbunyi sebagai berikut :

SAPTA MARGA
1.      Kami WARGA NEGARA Kesatuan republic Indonesia, yang bersendikan PANCASILA.
2.      Kami Patriot Indonesia, PENDUKUNG DAN PEMBELA IDIOLOGI Negara, yang bertanggung jawab dan tidak mengenal menyerah.
3.      Kami KSATRIA Indonesia, yang BERTAQWA kepada TUHAN YANG MAHA ESA, serta membela KEJUJURAN, KEBENARAN dan KEADILAN.
4.      Kami PRAJURIT Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, adalah BHAYANGKARI Negara dan bangsa Indonesia.
5.      Kami PRAJURIT Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, memegang teguh DISIPLIN, PATUH DAN TAAT kepada pimpinan. Serta MENJUNJUNG TINGGI sikap dan kehormatan Prajurit.
6.      Kami PRAJURIT Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, MENGUTAMAKAN KEPERWIRAAN di dalam melaksanakan tugas, serta senantiasa siap sedia BERBAKTI kepada Negara dan bangsa.
7.      Kami PRAJURIT Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, SETIA dan MENEPATI JANJI serta SUMPAH PRAJURIT.
(Buku Harian Bintara Pembina Masyarakat (BABINMAS) KOMANDO RESORT KEPOLISIAN 1043 BLITAR. : 3 )

Sapta Marga ini menunjukkan kesetiaan ABRI terhadap Negara Proklamasi berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 194, Sapta Marga yang pertama berbunyi "Kami Warga Negara Kesatuan Republik Indonesia yang bersendikan Pancasila" dan Marga yang kedua berbunyi "Kami Patriot Indonesia pendukung serta pembela idiologi Negara yang bertanggung jawab dan tidak mengenal menyerah", Sapta tersebut lahir pada era Liberalisme. Oleh sebab itu ABRI menganjurkan untuk kembali ke Undang-Undang Dasar 1945 pada akhir decade 50-an dan mendukung sepenuhnya dikeluarkannya dekrit presiden yang menyatakan dikembalikannya UUD kepada UUD 1945.
Dengan terbentuknya Dwifungsi ABRI ini seakan membuat keadaan semakin jelas bahwa Militer Indonesia tidak dapat dipisahkan dari Kancah Dunia Politik Indonesia. Kedudukan Militer dalam kancah Dunia Politik ini semakin kuat didukung oleh pidato Presiden Soekarno pada saat di Dewan Konstituante Bandung pada tanggal 22 April 1959 mengatakan : "ABRI merupakan golongan fungsional yang telah berjasa di masa lalu, sehingga wajar bila mereka duduk di dalam DPR yang akan datang" (Tim Imparsial Jakarta, 2006;27)

BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN

Ada beberapa faktor yang mendorong militer maju kepanggung politik, yaitu tidak dewasanya para politisi sipil dalam mengelola negara, adanya ancaman terhadap keamanan nasional, ambisi mempertahankan privillege seperti otonomi dalam merumuskan kebijakan pertahanan, memperoleh dan mengunakan anggaran pertahanan serta melindungi aset dan akses ekonomi dan tugas sejarah.
Juga dari segi historis sendiri, yang melegitimasi militer sebagai pihak yang mempunyai peran yang sangat penting dalam upaya memperthankan kemerdekaan. Menurut Ulf Sendhaussen (1982), militer menganggap bahwa dirinya sebagai satu-satunya kekuatan yang bertempur untuk kemerdekaan Indonesia, ketika orang lain sudah menyerah. Tentara mulai melihat dirinya sebagai “pemegang saham revolusi”, dengan kewajiban mengawasi kesejahteraan bangsa.
Militer juga mempunyai alasan subjektif, yaitu dipersulitnya reorganiasi kekuatan militer oleh politik pemerintah, dicampurinya urusan internal TNI oleh pimpinan politik, terjadinya pertentangan dikalangan perwira TNI sendiri, serta tidak disukainya kondisi politik dan kemimpinan pemerintahan oleh TNI.

DAFTAR PUSTAKA


Buku Harian Bintara Pembina Masyarakat (BABINMAS) KOMANDO RESORT KEPOLISIAN 1043 BLITAR
Nasution, A.H. 1983. Memenuhi Panggilan Tugas, Jilid 3: Masa Pancaroba Pertama. Jakarta: Gunung Agung.
Nasution, A.H. 1989. Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia. Jakarta : Gunung Agung.
Said, S. 2001. Militer Indonesia dan Politik, Dulu, Kini dan Kelak. Jakarta: Sinar Harapan.
Sendhaussen, Ulf. (2001). “Bung Karno dan Militer”, dalam Dialog dengan Sejarah: Soekarno Seratus Tahun. Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara.
Soebijono. 1992. DWIFUNGSI ABRI, Perkembangan dan Peranannya dalam Kehidupan Politik di Indonesia, Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
Sundhaussen, Ulf. 1988. Politik Militer Indonesia 1945-1967, Menuju Dwi Fungsi ABRI. Jakarta: LP3ES.
Simatupang. T.B. Pelopor dalam Perang, Pelopor dalam Damai, Jajasan Pustaka Militer, 1954.
Tim Imparsial. 2006. Gambaran reformasi TNI dalam UU TNI, Jakarta : penerbit Imparsial.
Tim Narasi. 2005. 100 Tokoh yang mengubah Indonesi. Jakarta : Penerbit Narasi.
Yulianto.P.  2005. MILITER & KEKUASAAN, Puncak-Puncak krisis Hubungan Sipil-Militer di Indonesia, Yogyakarta : Penerbit Narasi



Post a Comment

Previous Post Next Post